Permasalahan Akuntansi Keuangan dan Manajemen
1. Kompetensi, Kerahasiaan, Integritas dan Objektivitas dari Akuntan Manajemen
• Kompetensi
Akuntansi manajemen mempunyai tanggung jawab untuk:
1. Mempertahankan kompetensi professional pada level yang semestinya
2. Melaksanakan tugas-tugas professional sesuai dengan hokum, peraturan dan standar teknis yang relevan
3. Menyiapkan laporan secara lengkap dan jelas serta memberi rekomendasi setelah melakukan analisis yang layak terhadap informasi yang relevan dan handal
• Kerahasian
Akuntansi manajemen mempunyai tanggung jawab untuk:
1. Tidak mengungkapkan informasi rahasia yang diperoleh dalam menjalankan pekerjaannya kecuali mendapat wewenang atau karena adanya kewajiban hokum untuk mengungkapkan hal tersebut
2. Menginformasikan kepada bawahannya tentang kerahasiaan informasi yang diperoleh selama menjalankan pekerjaan dan mengawasi aktivitas mereka untuk meyakinkan bahwa mereka tetap menjaga kerahasiaan
3. Tidak memanfaatkan atau mengungkapkan informasi rahasia yang diperoleh selama menjalankan pekerjaannya demi ke untungan illegal dan tidak etis, baik bagi dirinya sendiri atau pihak ketiga
• Integritas
Akuntansi manajemen mempunyai kewajiban untuk:
1. Menghindari adanya kepentingan dan member nasehat kepada pihak yang berkepentingan terhadap konflik-konflik yang potensial yang terjadi
2. Menghindari aktivitas yang dapat menimbulkan keraguan terhadap kemampuan mereka untuk melakukan tugasnya secara etis
3. Menolak segal bentuk hadiah, tanda mata atau keramahan yang dapat mempengaruhi tindakan mereka
4. Tidak menumbangkan baik secara efektif maupun pasif hasil-hasil yang dicapai organisasi yang sah serta tujuan-tujuan etis
5. Mengenalkan dan mengkomunikasikan batasan-batasan professional atau kendala lain yang akan menghambat kebijakan-kebijakan yang bertanggung jawab atau kesuksesan kinerja dari suatu aktivitas
6. Mengkomunikasikan informasi dan kebijakan-kebijakan atau opini-opini, baik yang bersifat menguntungkan ataupun yang tidak menguntungkan
7. Tidak melakukan atau mendukung aktivitas yang dapat mengkreditkan profesi
• Objektivitas
Akuntansi manajemen bertanggung jawab untuk:
1. Mengkomunikasikan informasi secara wajar dan objektif
2. Mengungkapkan seluruh informasi yang diharapkan relevan untuk mempengaruhi pemakai untuk memahami laporan, komentar dan rekomendasi yang disajikan
Contoh :
kasus penyimpangan pajak yang melibatkan anak perusahaan PT BHI, pejabat pajak, dan kantor akuntan publik terkemuka yang merupakan salah satu dari the big five yang terungkap baru-baru ini dan terancam undang-undang anti suap perusahaan Amerika yang beroperasi di luar negeri. Contoh lainnya adalah kasus ENRON, HIH, dan perlunya audit ulang PT Telkom karena ditolaknya laporan keuangan auditan PT Telkom oleh Security Exchange Commission (SEC).
2. Whistle Blower
Whistle Blower merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kekurangan yang dilakukan oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak lain. Whistle blowing berkaitan dengan kecurangan yang merugikan perusahaan sediri maupun pihak lain.
Hal ini merupakan isu yang penting dan dapat berdampak buruk, baik kepada individu tersebut maupun organisasi yang dilaporkan (Vinten, 1994). Menurut Vardi dan Wiener (1996), tindakan ini termasuk tindakan menyimpang karena menyalahi aturan inti pekerjaan dalam perusahaan yang harus dipatuhi oleh semua pekerja. Sedangkan menurut Moberg (1997) tindakan ini dikategorikan sebagai pengkhianatan terhadap perusahaan.
Whistle Blowing dalam perusahaan (misalnya atasan) dapat disebut sebagai perilaku menyimpang tipe O jika termotivasi oleh identifikasi perasaan yang kuat terhadap nilai dan misi yang dimiliki perusahaan, dengan kepedulian terhadap kesuksesan perusahaan itu sendiri. Sedangkan tindakan whistle blowing yang bersifat ”pembalasan dendam” dikategorikan sebagai perilaku menyimpang tipe D karena ada usaha untuk menyebabkan suatu bahaya. Sementara itu, beberapa peneliti menganggap whistle blowing sebagai suatu bentuk tindakan kewarganegaraan yang baik (Dworkin & Nera, 1997), harus didorong dan bahkan dianugerahi penghargaan. Namun, whistle blowing biasanya dipandang sebagai perilaku menyimpang. Para atasan menganggapnya sebagai tindakan yang merusak yang kadang berupa langkah pembalasan dendam yang nyata (Near & Miceli, 1986). Para atasan berpendapat bahwa pada saat tindakan yang tidak etis terungkap, maka mereka harus berhadapan dengan pihak intern mereka sendiri. Penelitian Near & Miceli mengungkapkan bahwa whistle blower lebih memilih melakukan aksi balas dendam apabila mereka tidak mendapat dukungan yang mereka inginkan dari atasannya, insiden yang terjadi tergolong serius, dan menggunakan sarana eksternal untuk melaporkan kesalahan yang ada.
Kita dapat mengidentifikasi pola tingkatan dari OMB, yaitu sebuah tindakan tidak pantas yang dilakukan di dalam organisasi/perusahaan dan anggota dalam perusahaan memutuskan untuk menentang norma loyalitas kepada perusahaan dan mengungkapkan tindakan tidak pantas tadi kepada pihak luar. Dampaknya, organisasi/perusahaan akan melakukan tindakan menyimpang lebih jauh dengan mengambil aksi balas dendam kepada whistle blower tadi.
Perilaku whistle blowing berkembang atas beberapa alasan. Pertama, pergerakan dalam perekonomian yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan, keahlian, dan kepedualian sosial dari para pekerja. Kedua, keadaan ekonomi sekarang telah memberi informasi yang intensif dan menjadi penggerak informasi. Ketiga, akses informasi dan kemudahan berpublikasi menuntun whistle blowing sebagai fenomena yang tidak bisa dicegah atas pergeseran perekonomian ini (Rothschild & Miethe, 1999).
Tidaklah mudah untuk memastikan terjadinya whistle blowing. Rothschild & Miethe (1999) mendapatkan informasi yang menarik tentang hal ini. Dengan menngunakan sampel pekerja dewasa di US, ditemukan bahwa 37% dari mereka menemukan tindakan menyimpang di dalam lingkungan kerja mereka dan 62% dari porsi ini melakukan tindakan whistle blowing. Namun hanya 16% yang melaporkan ke pihak eksternal, sisanya hanya melapor kepada pihak internal yang memiliki kuasa lebih tinggi.
Miceli & Nera (1997) memandang whistle blowing sebagai antisocial OB. Antisocial OB adalah tindakan intens yang bersifat membahayakan yang dilakukan anggota organisasi terhadap individu, kelompok, atau organisasi. Untuk perilaku whistle blowing yang diklasifikasikan kedalam golongan ini harus dipastikan tingkat bahaya yang dihasilkan. Perilaku ini sejalan dengan OMB tipe D, yang juga dianggap sebagai aksi balas dendam.
De George (1986) menetapkan tiga kriteria atas whistle blowing yang adil. Pertama organisasi yang dapat menyebabkan bahaya kepada para pekerjanya atau kepada kepentingan publik yang luas. Kedua, kesalahan harus dilaporkan pertama kali kepada pihak internal yang memiliki kekuasaan lebih tinggi, dan ketiga, apabila penyimpangan telah dilaporkan kepada pihak internal yang berwenang namun tidak mendapat hasil, dan bahkan penyimpangan terus berjalan, maka pelaporan penyimpangan kepada pihak eksternal dapat disebut sebagai tindakan kewarganegaraan yang baik.
Menurut James (1984), whistle blower dalam for-profit organization akan dikenakan pemutusan kerja. Mereka juga akan masuk dalam blacklist yang tidak mendapat surat rekomendasi. Sementara itu, dalam non-for-profit organization, whistle blower biasanya dipindahkan, diturunkan posisinya, dan tidak akan mendapat promosi.
Perilaku whistle blowing dapat terjadi sebagai akibat dari penanaman nilai yang kuat atas suatu organisasi, mencakup bagaimana dan apa nilai-nilai serta budaya yang terdapat dalam organisasi tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaruh sosial dan budaya organisasi merupakan pengaruh yang kuat terhadap terjadinya whistle blowing.
Whistle bowing dibedakan menjadi 2 yaitu whistle blowing internal dan whistle blowing eksternal.
Whistle blowing internal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan karyawan kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada atasannya.
Whistle blowing eksternal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan lalu membocorkannya kepada masyarakat karena kecurangan itu akan merugikan masyarakat.
Contoh:
Contoh kasus di negara lain Jeffrey Wigand adalah seorang Whistle Blower yang sangat terkenal di Amerika Serikat sebagai pengungkap sekandal perusahaan The Big Tobbacoh. Perusahaan ini tahu bahwa rokok adalah produk yang gaddictiveh dan perusahaan ini menambahkan bahan gcarcinogenich di dalam ramuan rokok tersebut. Kita tahu bahwa gcarcinogenic adalah bahan berbahaya yang dapat menimbulkan kanker. Yang perlu diingat bahwa Whistle Blower tidak hanya pekerja atau karyawan dalam bisnis melainkan juga anggota di dalam suatu institusi pemerintahan (Contoh Khairiansyah adalah auditor di sebuah institusi pemerintah benama BPK).
3. Creative accounting
Creative accounting adalah usaha yang dilakukan manajemen perusahaan dalam mendongkrak laba perusahaan dengan melakukan modifikasi data keuangan yang ada pada laporan keuangan melalui cara-cara yang kreatif. Cara-cara tersebut dapat berupa manipulasi terhadap data akuntansi atau mencari celah-celah yang ada pada standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Akuntansi kreatif, bisa juga disebut akuntansi yang agresif, adalah manipulasi angka-angka finansial, biasanya dalam surat hukum dan standar akuntansi, namun sangat menentang semangat mereka dan tentunya tidak menyediakan "benar dan adil" pandangan perusahaan yang seharusnya rekening untuk.
Tujuan khas akuntansi kreatif akan mengembang angka keuntungan. Beberapa perusahaan juga dapat mengurangi melaporkan laba di tahun-tahun yang baik untuk hasil yang halus. Aktiva dan kewajiban juga dapat dimanipulasi, baik untuk tetap dalam batas-batas seperti perjanjian utang, atau untuk menyembunyikan masalah.
Khas trik akuntansi kreatif meliputi keseimbangan pembiayaan lembar, terlalu optimis pengakuan pendapatan dan penggunaan berlebihan non-berulang item.
Istilah "window dressing" memiliki arti yang sama bila diterapkan ke account, namun istilah yang lebih luas yang dapat diterapkan ke daerah lain. Di Amerika Serikat sering digunakan untuk menggambarkan manipulasi angka-angka kinerja investasi portofolio. Dalam konteks rekening, "window dressing" lebih mungkin dibandingkan "akuntansi kreatif" untuk menyiratkan praktek-praktek ilegal atau penipuan, tapi perlu melakukannya.
Teknik-teknik perubahan akuntansi kreatif dari waktu ke waktu. Seiring dengan perubahan standar akuntansi, teknik yang akan bekerja berubah. Banyak perubahan dalam standar akuntansi dimaksudkan untuk memblokir rekening tertentu cara memanipulasi, yang berarti mereka bermaksud akuntansi kreatif perlu menemukan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu. Pada saat yang sama, perubahan lainnya, berniat baik, dalam standar akuntansi membuka peluang baru untuk akuntansi kreatif (penggunaan nilai wajar adalah contoh yang baik dari ini).
Banyak (tetapi tidak semua) teknik akuntansi yang kreatif mengubah angka utama ditunjukkan dalam laporan keuangan, tapi membuat diri mereka terlihat di tempat lain, paling sering dalam catatan ke rekening. Pasar telah terkejut oleh berita buruk sebelum tersembunyi dalam catatan, sehingga pendekatan rajin dapat memberikan keuntungan.
Contoh:
Di Indonesia terdapat beberapa kasus creative accounting seperti kasus manipulasi penjualan Kimia Farma, Great River dan lain-lain. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bagaimana manipulasi laporan keuangan dapat dijadikan cara untuk menipu investor, petugas pajak, pemilik perusahaan, kreditor dan lain-lain.
Para akuntan publik, auditor internal perusahaan dan aparat penegak hukum sering tidak mampu mendeteksi teknik-teknik creative accounting yang semakin canggih yang dilakukan para penjahat kerah putih. Skill dan keahlian para penegak hukum di Indonesia sangatlah minim apalagi dalam bidang akuntansi keuangan. Sisi lain, para penyusun laporan keuangan tidak memahami apa saja konsekuensi dari tindakan manipulasi laporan keuangan yang mereka lakukan.
Oleh Karena itu kami Stufen International menyelenggarakan pelatihan terkait dengan trik-trik manipulasi laporan keuangan yang mungkin dilakukan oleh para penyusun laporan keuangan dan aspek legal creative accounting.
4. Fraud Accounting
Menurut Alison (2006) dalam artikel yang berjudul Fraud Auditing mendefinisikan kecurangan (Fraud) sebagai bentuk penipuan yang disengaja dilakukan yang menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan tersebut dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan. Kecurangan umumnya terjadi karena adanya tekanan untuk melakukan penyelewengan atau dorongan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dan adanya pembenaran (diterima secara umum) terhadap tindakan tersebut.
Karakteristik Kecurangan Akuntansi
Menurut Alison (2006) dalam artikel yang berjudul Fraud Auditing, dilihat dari pelaku Fraud maka secara garis besar kecurangan dapat digolongkan menjadi dua jenis di pihak perusahaan, yaitu :
Manajemen untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent financial reporting). Kecurangan pelaporan keuangan biasanya dilakukan karena adanya dorongan dan ekspektasi terhadap prestasi kerja manajemen. Salah saji yang timbul karena kecurangan terhadap pelaporan keuangan lebih dikenal dengan istilah irregulatities (ketidakberesan). Bentuk kecurangan seperti ini seringkali dinamakan kecurangan manajemen (management fraud), misalnya berupa : manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang merupakan sumber penyajian laporan keuangan, kesengajaan dalam salah menyajikan atau sengaja menghilangkan (intentional omissions) suatu transaksi, kejadian, atau informasi penting dari laporan keuangan.
Pegawai untuk keuntungan individu, yaitu salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of assets). Kecurangan jenis ini biasanya disebut kecurangan karyawan (employee fraud). Salah saji yang berasal dari penyalahgunaan aktiva meliputi penggelapan aktiva perusahaan yang mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Penggelapan aktiva umumnya dilakukan oleh karyawan yang menghadapi masalah keuangan dan dilakukan kartena melihat adanya peluang kelemahan pada pengendalian internal perusahaan serta pembenaran terhadap tindakan tersebut. Contoh salah saji jenis ini adalah :
1. Penggelapan terhadap penerimaan kas.
2. Pencurian aktiva perusahaaan.
3. Mark-up harga.
4. Transaksi tidak resmi.
5. Oleh pihak diluar perusahaan, yaitu pelanggan, mitra usaha dan pihak asing yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
Kecurangan akuntansi telah berkembang di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Di USA kecurangan akuntansi telah berkembang secara luas. Spathis (2002) menjelaskan bahwa di USA kecurangan akuntansi menimbulkan kerugian yang sangat besar di hampir seluruh industri. Kerugian dari kecurangan akuntansi di pasar modal adalah menurunnya akuntabilitas manajemen dan membuat para pemegang saham meningkatkan biaya monitoring terhadap manajemen. Pada umumnya kecurangan akuntansi berkaitan dengan korupsi. Dalam korupsi, tindakan yang lazim dilakukan diantaranya adalah memanipulasi pencatatan, penghilangan dokumen, dan mark-up yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tindakan ini merupakan bentuk kecurangan akuntansi.
Contoh:
Terungkapnya kasus mark-up laporan keuangan PT. Kimia Farma yang overstated, yaitu adanya penggelembungan laba bersih tahunan senilai Rp 32,668 miliar (karena laporan keuangan yang seharusnya Rp 99,594 miliar ditulis Rp 132 miliar). Kasus ini melibatkan sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang menjadi auditor perusahaan tersebut ke pengadilan, meskipun KAP tersebut yang berinisiatif memberikan laporan adanya overstated (Tjager dkk., 2003). Dalam kasus ini terjadi pelanggaran terhadap prinsip pengungkapan yang akurat (accurate disclosure) dan transparansi (transparency) yang akibatnya sangat merugikan para investor, karena laba yang overstated ini telah dijadikan dasar transaksi oleh para investor untuk berbisnis.
5. Fraud Auditing
Fraud auditing atau audit kecurangan adalah upaya untuk mendeteksi dan mencegah kecurangan dalam transaksi-transaksi komersial. Untuk dapat melakukan audit kecurangan terhadap pembukuan dan transaksi komersial memerlukan gabungan dua keterampilan, yaitu sebagai auditor yang terlatih dan kriminal investigator.
Sebelum kita bahas lebih lanjut ada baiknya kita bahas dulu mengenai kecurangan itu sendiri. Kecurangan (fraud) perlu dibedakan dengan kesalahan (Errors). Kesalahan dapat dideskripsikan sebagai “Unintentional Mistakes” (kesalahan yang tidak di sengaja). Kesalahan dapat terjadi pada setiap tahapan dalam pengelolaan transaksi terjadinya transaksi, dokumentasi, pencatatan dari ayat-ayat jurnal, pencatatan debit kredit, pengikhtisaran proses dan hasil laporan keuangan. Kesalahan dapat dalam banyak bentuk matematis. Kritikal, atau dalam aplikasi prinsip-prinsip akuntansi. Terdapat kesalahan jabatan atau kesalahan karena penghilangan / kelalaian, atau kesalahan dalam interprestasi fakta. “ Commission ” merupakan kesalahan prinsip (error of principle), seperti perlakuan pengeluaran pendapatan sebagai pengeluaran modal. Sedangkan “ Omission ” berarti bahwa suatu item tidak dimasukkan sehingga menyebabkan informasi tidak benar.
Apabila suatu kesalahan adalah disengaja, maka kesalahan tersebut merupakan kecurangan (fraudulent). Istilah “Irregulary” merupakan kesalahan penyajian keuangan yang disengaja atas informasi keuangan. Auditor terutama tertarik pada pencegahan, deteksi, dan pengungkapan kesalahan-kesalahan karena alasan berikut ;
Eksistensi kesalahan dapat menunjukan bagi auditor bahwa catatan akuntansi dari kliennya tidak dapat dipercaya dan dengan demikian tidak memadai sebagai suatu dasar untuk penyusunan laporan keuangan. Adanya sejumlah besar kesalahan dapat mengakibatkan auditor menyimpulakan bahwa catatan akuntansi yang tepat tidak dilakukan.
Apabila auditor ingin mempercayai pengendalian intern, ia harus memastikan dan menilai pengendalian tersebut dan melakukan pengujian ketaatan atas operasi. Apabila pengujian ketaatan menunjukan sejumlah besar kesalahan, maka auditor tidak dapat mempercayai pengendalian intern.
Apabila kesalahan cukup material, kesalahan tersebut dapat mempengaruhi kebenaran (truth) dan kewajaran (fairness) laporan tersebut.
Penyebab Terjadinya Kecurangan J.S.R. Venables dan KW Impley dalam buku “Internal Audit” (1988, hal 424) mengemukakan kecurangan terjadi karena :
Penyebab Utama:
Penyembunyian (concealment), Kesempatan tidak terdeteksi. Pelaku perlu menilai kemungkinan dari deteksi dan hukuman sebagai akibatnya.
Kesempatan/Peluang (Opportunity), Pelaku perlu berada pada tempat yang tpat, waktu yang
tepat agar mendapatkan keuntungan atas kelemahan khusus dalam system dan juga menghindari deteksi.
Motivasi (Motivation), Pelaku membutuhkan motivasi untuk melakukan aktivitas demikian,
suatu kebutuhan pribadi seperti ketamakan/kerakusan dan motivator yang lain.
Daya tarik (Attraction), Sasaran dari kecurangan yang dipertimbangkan perlu menarik bagi pelaku.
Keberhasilan (Success)Pelaku perlu menilai peluang berhasil, yang dapat diukur baik menghindari penuntutan atau deteksi. .
Penyebab Sekunder
a. “A Perk”
Kurang pengendalian, mengambil keuntungan aktiva organisasi dipertimbangkan sebagai suatu tunjangan karyawan.
b. Hubungan antar pemberi kerja/pekerja yang jelek
Yaitu saling kepercayaan dan penghargaan telah gagal. Pelaku dapat mengemukakan alasan bahwa kecurangan hanya menjadi kewajibannya.
c. Pembalasan dendam (Revenge)
Ketidaksukaan yang hebat terhadap organisasi dapat mengakibatkan pelaku berusaha merugikan organisasi tersebut.
d. Tantangan (Challenge)
Karyawan yang bosan dengan lingkungan kerja mereka dapat mencari stimulasi dengan berusaha untuk “memukul sistem”, sehingga mendapatkan suatu arti pencapaian (a sense of achievement), atau pembebasan frustasi (relief of frustation) 2.3 Tanda-Tanda Peringatan Untuk Kecurangan Meskipun pada suatu kesempatan pemeriksa intern melakukan penugaan langsung dalam penyelidikan kecurangan yang dicurigai atau aktual, bagian yang lebih besar dari usahanya yang berorientasi kecurangan merupakan suatu bagian yang integral dari penugasan audit yang lebih luas. Usaha yng berorientasi pada kecurangan ini dapat dalam bentuk prosedur khusus, termasuk dalam program audit yang lebih luas. Usaha yang berorientasi kecurangan tersebut dapat termasuk seluruh dari kesiapsiagaan umum dari pemeriksa intern ketika ia melaksanakan seluruh bagian dari penugasan audit ini. Kesiapsiagaan ini termasuk berbagai area, kondisi dan pengembangan yang memberikan tanda-tanda peringatan. 2.4 Area – Area yang Sensitif Pemeriksaan intern khususnya harus waspada terhadap area yang sensitive untuk penelaahan yang dalam.
Berikut ini beberapa contoh yang mengungkapkan ketidakberesan :
1. Modal kerja yang tidak cukup
Hal ini dapat menunjukkan masalah seperti ekspansi yang berlebihan, penurunan pendapatan, transfer atau pemindahan dana ke perusahaan yang lain, kredit yang tidak memadai, dan pengeluaran yang berlebihan. Pemeriksa intern berhati-hati terhadap pengalihan dana ke penggunaan pribadi melalui metode-metode seperti penjualan yang tidak tercatat dan pengeluaran yang fiktif.
2. Perputaran yang cepat dalam posisi keuangan
Kehilangan personil akuntansi dan keuangan dan yang penting dapat menandai kinerja yang tidak memadai dan mengakibatkan kelemahan dalam pengendalian intern. Akuntabilitas untuk dana dan sumber daya yang lain harus ditetapkan ketika pemberhentian kerja.
3. Penggunaan procuremen pemasokan sendiri (sole-source procurement)
Praktik-praktik procuremen yang baik mendorong kompetisi untuk memastikan bahwa organisasi memperoleh material atau peralatan yang diperlukan dengan harga yang paling baik. Procuremen pemasokan sendiri, apabila tidak cukup dijustifikasi menunjukkan favoritisme atau pembayaran kembali (kickbacks) yang potensial.
4. Biaya perjalanan yang berlebihan
Dalam menelaah perjalanan, auditor perlu berhati-hati untuk perjalanan yang tidak diotorisasi atau pribadi, dan perjalanan atau biaya-biaya lain yang tidak disokong.
5. Pemindahan dana antara perusahaan afiliasi atau divisi
Suatu pola pemindahan dana antar perusahaan atau divisi mungkin menunjukkan pinjaman yang tidak diotorisasi, penutupan kekurangan, atau pengendalian yang tidak memadai atas dana.
Dibawah ini adalah beberapa daftar yang disusun oleh American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) pada tahun 1979 mengenai kondisi-kondisi atau kejadian-kejadian yang dapat menandai adanya kecurangan:
1. Manajemen senior yang sangat menguasai/mendominasi dan terdapat satu atau lebih kondisi berikut atau yang sama :
Dewan direksi dan/atau panitia audit yang tidak efektif.
Indikasi dari penolakan manajemen atas pengendalian akuntansi internal yang penting
Kompensasi atau opsi saham yang signifikan yang berkaitan dengan kinerja yang dilaporkan atau terhadap transaksi khusus, yaitu manajemen senior mempunyai pengendalian nyata atau penuh
Indikasi kesulitan keuangan pribadi dari manajemen senior.
Perebutan perwalian yang melibatkan pengendalian perusahaan atau status dari manajemen senior.
2. Kemerosotan atau kemunduran dari mutu pendapatan yang dibuktikan oleh :
Penurunan dalam volume atau mutu penjualan (misalnya, risiko kredit yang meningkat atau penjualan sama dengan atau dibawah harga pokok)
Perubahan yang signifikan dalam praktik usaha.
Kepentingan yang berlebihan oleh manajemen senior dalam laba per saham (EPS/Earnings per Share) yang dipengaruhi oleh pilihan akuntansi.
3. Kondisi usaha yang dapat menciptakan tekanan yang tidak biasa :
Modal kerja yang tidak memadai
Kelenturan/fleksibilitas yang kecil dalam pembatasan hutang, seperti rasio modal kerja dan keterbatasan dalam pinjaman tambahan.
Perluasan atau ekspansi yang cepat dari suatu produk atau lini usaha yang menyolok sekali dengan melebihi rata-rata industri.
Investasi yang besar dari sumber daya pemisahan dalam suatu industri yang mengalami perubahan cepat,seperti suatu industri yang bertekhnologi tinggi.
Menurut Statement on auditing Standars (SAS) No.1, tanggungjawab dari auditor independent untuk kegagalan mendeteksi kecurangan (yang tanggungjawabnya berbeda seperti klien dari pihak lain) timbul hanya apabila kegagalan tersebut secara jelas berakibat dari ketidaktaatan terhadap standar auditing yang berlaku. Karena litigasi yang meningkat terhadap akuntan dan perhatian auditor eksternal bahwa mungkin terdapat pernyataan salah yang material sebagai hasil dari kecurangan, profesi di Amerika Serikat mengembangkan SAS 16. pernyataan ini menggantikan SAS No. 1 yang berkaitan dengan tanggungjawab auditor terhadap kecurangan. SAS No.16 menyatakan : Sebagai konsekuensinya menurut standar auditing yang berlaku umum, auditor independen mempunyai tanggungjawab dengan keterbatasan yang melekat pada proses auditing, untuk merenjanakan pengujiannya untuk mencari kesalahan atau ketidakberesan yang akan mempunyai pengaruh yang material atas laporan keuangan, dan melakukan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama dalam melakukan pengujian.
Dengan demikian pernyataan ini mensyaratkan auditor khususnya mencari ketidak beresan yang mempunyai suatu pengaruh yang meterial atas laporan keuangan. Perubahan penekanan diatas oleh auditor eksternal pada gilirannya membantu membereskan auditor interen dari tanggungjawab langsung terhadap kecurangan dalam organisasi.
Contoh kasus kecurangan audit:
Pada penelitian terbaru yang dilakukan oleh the Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO), kecurangan (fraud) dalam pelaporan keuangan oleh perusahaan-perusahaan publik di Amerika Serikat memberikan konsekuensi negatif yang signifikan terhadap para investor dan eksekutif.
Penelitian COSO tersebut, dengan menelaah tuduhan kecurangan laporan keuangan yang diselidiki oleh Securities and Exchange Commission (SEC) dalam kurun waktu sepuluh tahun antara tahun 1998 – 2007, menemukan fakta bahwa berita dugaan kecurangan telah mengakibatkan penurunan abnormal harga saham rata-rata 16,7% dalam dua hari setelah diumumkan. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kecurangan seringkali mengalami kebangkrutan, delisting dari bursa efek, atau harus menjual aset, dan sembilan dari sepuluh kasus-kasus SEC tersebut menyebutkan CEO dan/atau CFO perusahaan yang bersangkutan diduga terlibat dalam kecurangan.
Chairman COSO, David Landsittel, mengatakan bahwa analisis mendalam dalam penelitian tersebut terkait tentang sifat, jangkauan, dan karakteristik dari kecurangan pelaporan keuangan memberikan pemahaman yang sangat membantu tentang isu-isu baru dan berkelanjutan yang perlu segera ditangani. ”Semua pihak yang terlibat dalam proses pelaporan keuangan harus terus berfokus pada cara-cara untuk mencegah, menghalangi, dan mendeteksi kecurangan pelaporan keuangan,” kata Landsittel. ”COSO berencana untuk mensponsori penelitian lanjutan mengenai kecurangan pelaporan keuangan, serta pengembangan lebih lanjut pedoman pengendalian internal, untuk membantu pihak-pihak yang terlibat dalam proses pelaporan keuangan.”